::: Gadis Selingkuhanku :::
Cici (aku biasa memanggilnya CC)
adalah gadis yang ketemu lagi
beberapa bulan yang lalu (sekitar
September 2001) di Mataram. Sebagai
mahasiswi salah satu Akademi
Pariwisata terkenal di Jakarta, dia harus menjalani studi praktek di salah
satu hotel berbintang di Lombok.
Umurnya baru 19 tahun, beda jauh
dengan umurku yang sudah 35 tahun
dan sudah menikah dengan tiga anak. Sekarang aku menjalani hidup
berkeluarga dengan istriku, aku tidak
suka ganti-ganti atau jajan. One
women at a time, lah. Hubungan kami
berlangsung biasa saja. Tapi, lama kelamaan senyumnya itu
lho yang membuatku mabok
kepayang. Ukuran tubuhnya yang
relatif (tingginya hanya 155 cm) kecil
pun merupakan impianku, karena
aku juga tidak terlalu tinggi (167 cm). Hubungan kami sebenarnya mulai
sebagai layaknya saudara, sampai
suatu hari saya telpon dan
menyatakan keinginan saya untuk
berhubungan lebih serius. “Kapan Cici ke Jakarta? Aku udah
pengin banget nih ketemu sama
kamu.” tanyaku ketika meneleponnya
pada awal bulan yang lalu.
“Wah aku nggak bias bolos,mas,
kecuali kalau hanya untuk satu atau dua hari. Aku baru pulang nanti bulan
Januari tahun depan. Jatah tiket aku
untuk bulan-bulan itu.” jawabnya,
“Kecuali kalau ada yang mau kasih
tiket pesawat, hehehe.”
Kesempatan nih, pikirku. “Gimana kalau aku kirim tiket? Mau
kan? Tanggal berapa?” tanyaku
penuh harap.
“Gimana kalau akhir minggu ini? Tapi
jangan bilang sama orang rumah
kalau aku bolos lho!” pintanya mengingatkan. Benar saja, pada hari Jumat sepulang
kantor kujemput dia di Cengkareng.
Wow.., beda sekali! Dia pakai celana
jeans biru ketat, dengan kaos ketat
menggantung, sehingga pusarnya
kelihatan. Dan, ya ampuun.., dengan kaos yang ketat itu, terlihat dengan
jelas betapa besar buah dadanya yang
terlihat terlalu besar dibanding
dengan badannya yang mungil.
Kutaksir berukuran 36 lah. Biasanya dia pakai baju agak longgar,
jadi tidak begitu kelihatan. Batang
penisku langsung bereaksi, tapi lalu
kutenang-tenangkan agar cepat
kendor. Belum waktunya.
“Gimana Ci, kita makan dulu ya..?” Kami langsung ke Plasa Senayan,
makan sambil ngobrol di Spageti
House. Setelah itu, kami langsung
menuju di Horison Ancol untuk
menikmati waktu berdua kami. Setelah ngobrol panjang lebar, kulihat
dia berjalan mendekati jendela yang
menghadap ke laut. Kuanggap ini
sebagai undangan dan lalu aku
mendekati dan memeluknya dari
belakang. Kurasakan buah dadanya menjadi lebih kencang dan
dipejamkan matanya. Kuciumi
lehernya dengan penuh gelora nafsu.
Kulepas kaitan BH-nya sehingga
dengan leluasa dapat kuraba dan
kuremas. Ooh besar sekali buah dada ini. Kubalik badannya, kuangkat kaos
mininya dan kucium dan kulumat
penuh gelora buah dada itu.
Sepertinya ia baru pertama kali
pacaran seperti ini. “Haarhhh.. malu nich..!” katanya,
tanpa memintaku berhenti.
Aku menjadi semakin berani.
Celananya kubuka. Cici memberontak
sedikit, tapi tidak terlalu berarti.
Kulepas semua pakaiannya sehingga dia telanjang bulat, sementara diriku
masih berpakaian. Putih mulus
tubuhnya kunikmati, karena kami
tidak mematikan lampu. Kucium
seluruh tubuhnya yang berdiri tegak
di depanku. Seperti cacing kepanasan, Cici menggeliat dan mengerang.
Seluruh badannya merinding dan
menggigil. Ketika ciuman dan jilatanku sampai ke
daerah kemaluannya, Cici mengerang
hebat sambil meremasi rambutku.
“Hegh.. Harrch… Enak sekali. Kaki saya
lemes Harch.. tolong akhhu heh..!”
erangan yang terdengar sangat merangsang bagiku.
Sekali-sekali kuraba dan kuremas
lembut buah dadanya yang
menggunung itu, sangatlah seksi dan
merengsang berahiku.
“Harch heehh please..! Aku lemas sekali nich.. auch..!” lenguhnya
semakin tinggi. Aku segera mengangkatnya ke
tempat tidur dan melanjutkan jilatan-
jilatanku di daerah surganya. Tidak
terasa, sudah lebih dari 10 menit aku
memberinya pengantar kenikmatan,
seolah ia sudah sangat pengalaman. Sampai akhirnya, aku terkejut karena
ia menjadi seperti kejang, meremas
kepalaku dan menekannya ke
vaginanya. “Harchh.. aku mau.. augh..!”
lenguhnya meninggi.
Wow.., dia sudah orgasme. Ada sedikit
cairan kental keluar dari vaginanya,
hangat dan nikmat. Dalam keadaan
terengah-engah masih kujilat bibir vaginanya. Lenguhan-lenguhannya
seperti tidak mau berhenti. Terkulailah
gadisku lunglai seperti tanpa daya.
Kupeluk dan kucium bibirnya dengan
mesra dan cinta. Aku sengaja
menahan diri, untuk memberinya kesempatan lebih dulu. “Gimana Ci, enak..?” tanyaku, “Kamu
pernah seperti ini sebelumnya..?”
“Aku nggak tahu pasti bayanganmu
tentang diriku, Mas. Mungkin kamu
menganggap aku perempuan
murahan. Tapi sungguh, ini pertama kali aku merasakan kenikmatan yang
tak terlukiskan. Biasanya, aku hanya
masturbasi saja. Aku mau
mempersembahkan keperawananku
pada orang yang kucintai.” jawabnya.
“Jadi kamu masih perawan..?” tanyaku dengan heran.
“Ya, aku masih perawan. Dan aku
akan mempersembahkannya
untukmu. Aku sangat mencintaimu,
Mas.”
Jawaban ini membuat hatiku runtuh, sebab biasanya aku nggak pernah
selingkuh sama wanita lain, apalagi
yang masih perawan. “Cici aku minta maaf, tapi sepertinya
aku tidak sanggup melanjutkan. Aku
belum mengatakan, gimana latar
belakang dan keadaanku
sebenarnya.” keinginanku untuk
menjelaskan dipotong Cici. “Mas, aku sudah tahu kok. Aku tanya
sama teman-temanmu di sana. Dan
mereka memberi tahu apa adanya.
Jadi, aku sudah tahu dan siap untuk
menjadi madumu.” jawabnya dengan
centil sambil mencubitku. “Yang bener nih..?” tanyaku sambil
tertawa, bahagia sekali rasanya. Kutengok arlojiku, sudah jam 11
malam.
“Kamu nggak mau pulang nengok
Papa-Mama Ci..?”
“Kan sudah saya bilang, saya bolos
dan mas harus merahasiakannya, Oke..!” Dia membalikkan badannya sehingga
menghadapku, kulonggarkan
pelukanku dan dia seperti tersadar.
“Lho.., jadi mas tuh masih berpakaian
to..? Ya ampun, malu nih..! Payah nih
mas. Ayo dong, mas juga buka baju..!” Aku segera membuka baju. Cici
memandang dengan penuh rasa ingin
tahu. Tanpa sadar, burungku yang
tegang sekali ternyata telah
mengeluarkan cairan bening. “Har, burung mas besar sekali. Muat
nggak ya..?” tanyanya sambil
memandangi penisku yang coklat
kehitaman.
Ukurannya sebenarnya tidak lah
besar, tergolong kecil lah karena hanya sekitar 14 cm.
“Kok ada cairan beningnya sih..?”
“Ya iya, aku kan juga merasakan
kenikmatan dengan memberimu yang
tadi itu.”
“Har, kasih tahu dong gimana aku bisa memberiu mas kenikmatan
seperti yang kurakakan tadi..!”
pintanya.
“Learning by doing aja ya.” jawabku. Setelah memberi tahu cara-caranya,
aku lalu rebahan. Masih dengan agak
canggung, Cici mulai memegang,
menggosok dan memijat penisku,
juga buah pelirnya.
“Ooh.. Cici, enak sekali..!” gumanku menikmatinya.
“Mulai dikemut dong Sayang..!”
pintaku.
Cici dengan agak ragu memasukkan
penisku ke dalam mulut mungilnya.
Pada awalnya agak sakit, karena sesekali terkena giginya, tapi
kemudian Cici menjadi lebih pintar.
Kuluman atas penisku menjadi lebih
lembut dan nikmat sekali. “Kemut, jilat dan raba semuah.. Ci..!”
pintaku karena mulai menanjaklah
kenikmatan itu.
Karena sering kali tidak tahan, aku
menggoyangkan pantatku. Sehingga,
jilatan bagian bawah buah pelir seringkali salah ke daerah sekitar
anus. Dia memejamkan mata, jadi dia
tidak tahu, tapi aku dapat merasakan
kenikmatannya.
“Oougghh.., enak sekali Ci..!” erangku
tiap kali daerah duburku terjilat. Pada awalnya aku memang tidak
sengaja, tapi kemudian sesekali
kupelesetkan karena nikmatnya. Aku
belum pernah mengalami kenikmatan
ini dari wanita mana pun. Kenikmatan mulai memuncak dan aku
meminta Cici untuk mengulum
penisku, karena aku sudah mendekati
puncak. Cici mengulum sambil
menggerakkan kepalanya ke atas-
bawah dan kadang memutar. Dan sampailah puncak kenikmatan itu.
“Aauugghhrhh.. aku keluarhh..!”
erangku sambil meremas rambut Cici
dan memegangnya erat agar tidak
lepas.
Cici terkejut karena semprotan spermaku yang kusemburkan air
nikmat itu ke dalam mulutnya, yang
membuatnya menelan sambil
gelagapan. Sisa spermaku menetes dari mulutnya.
“Kenapa dikeluarkan di mulutku
Mas..?” Cici memprotes.
“Sama saja Sayang, kamu tadi kan
begitu juga. Enak kan..?” aku
menimpali sekenanya. Semula ia terlihat jengkel tapi
kemudian tersenyum, paham. Jam 12 malam sudah. Satu sama. Cici
melihat ke penisku dan heran.
“Lho kok jadi kecil dan pendek. Tadi
besar sekali sampai mulutku nggak
muat..?”
“Ya iya dong Sayang, kalau lagi bobok yang cuma 3 cm, tapi kalau bangun
jadi tambah besar, hebat ya..!”
“Trus kalau mau bikin besar lagi,
caranya gimana..?” Cici tanya sambil
meremas-remas penisku.
“Kalau mau agak lama, ya gitu, diremas, diraba. Kalau mau cepet ya
dikemut lagi.” Dan tanpa diminta, Cici segera
mengemut batang penisku, yang
kemudian memang langsung
membesar pada ukuran penuhnya.
Aku tidak mau ketinggalan,
kubalikkan badanku sehingga kami mempraktekkan posisi 69. Cici
sepertinya menjadi bangkit gairah dan
melenguh-lenguh sambil mengulum
batang penisku. Setelah kami sama-sama penuh gelora
dan napas kami telah tersengal-sengal
penuh kenikmatan, Cici bertanya,
“Gimana lanjutnya Mas..?”
“Kamu bener udah siap..? Kamu
nggak nyesel nanti..?” kutanya Cici karena aku sebenarnya mendua,
ingin menjaganya sekaligus ingin
menuntaskan hubungan asmara
kami.
“Aku kan sudah bilang. Aku siap
untuk mempersembahkan keperawananku buat Mas. Jadi
mulailah, gimana..?” Mendengar jawaban ini, akal sehatku
padam. Segera aku berlutut di antara
selangkangannya. Kutempelkan
batang penisku ke vaginanya.
Menggesekkannya dan sedikit
menekannya. “Ouuch Mas.., enak sekali..! Terusin
Mas..! Aahh..!” lenguhnya mulai
merasakan kenikmatan. “Cici, yang pertama ini agak sakit, tapi
hanya sebentar. Kamu akan terbiasa
dan mulai merasakan nikmatnya.
Tahan ya..!” sambil kutelungkupi
badannya yang mungil itu.
Kucium bibirnya dengan penuh nafsu dan kusedot kuat-kuat. Kucium dan
kugigit-kecil puting susunya. Cici
mendesah nikmat. Kucium lagi
bibirnya kuat-kuat. Dan ketika itulah
kutekan batang penisku masuk ke
liang senggamanya. Cici memelukku erat terhenyak. Pastilah dia menahan
sakit. Setelah batang penisku masuk
sepenuhnya, kubiarkan ia di dalam,
diam. Terus kucium bibirnya sambil
kubuat kedutan-kedutan kecil di
kemaluanku. Cici ternyata melakukan
refleks yang sama. Otot vaginanya juga membuat kedutan-kedutan kecil,
yang semakin lama terasa seperti
tarikan-tarikan halus, menyedot
batang penisku, seolah meminta lebih
dalam. Aku mulai mengayun-ayun
pelan dan mulai kurasakan ujung kamaluanku menyentuh liang
rahimnya. Oooh nikmat sekali. Inilah
mengapa aku selalu lebih senang
dengan wanita bertubuh mungil.
Tubuh yang dapat memberiku
kenikmatan lebih. Bersama Cici kenikmatan yang paling indah yang
pernah aku rasakan. Ayunanku mulai lebih lancar dan
berirama. Cici sepertinya sudah tidak
sakit lagi. Atau barangkali kenikmatan
ini telah mengalahkan rasa sakitnya.
“Gimana Sayang, enak..?”
“Oouuh Mas.., terusin..! Lebih keras.., lebih cepat.. hegh.. ooh.. Mas nikmat
sekali Sayang..!”
“Cici, nanti aku semprotkan maniku di
dalam atau di luar..?”
“Terserah, apa pun yang membuat
kita nikmath hegh..!” “Kalau nanti kamu hamil gimana..?”
“Biarin, biarin, aauchh..!” Kami bicara sambil menggoyang
badan kami. Dengan refleknya Cici
mengimbangi setiap sodokan dan
goyanganku. Kalau aku cepat, dia pun
mempercepat. Kalau aku melambat,
dia pun begitu. Sambil menggoyang, kulumat bibirnya, kusedot dan
kugigit-gigit kecil buah dadanya. Belum lima menit kami mendayung
lautan kenikmatan, Cici kelihatan
mulai lebih liar. Goyangan pinggulnya
menjadi lebih cepat dan tidak
terkendali. Pelukannya menjadi lebih
erat. Dan dia melenguh dengan hebat dan aku merasakan denyutan-
denyutan otot vaginanya. Ayunan
batang kemaluanku kubuat menjadi
lebih kuat tapi tetap pelan untuk
memberikan kenikmatan yang lebih.
Dua, satu. “Ooch.., Mas aku capek sekali, tapi mas
belum ya..?”
“Kita istirahat dulu deh, nanti lagi..!”
“Jangan Mas, jangan lepaskan, kita
teruskan, kupuaskan kamu, gimana
pun..!” Cici mulai menggerakkan pinggulnya.
Ayunan batang kemaluanku
kuteruskan. Agak tidak tega aku
sebenarnya. Tapi Cici sepertinya agak
memaksa. Jadi, sambil berpeluk dan
berguling kami terus mengayun, mendayung kenikmantan. Orgasmeku
yang kedua biasanya memang agak
lama, kadang aku harus menunggu
10-20 menit. Dan begitulah, Cici mulai melenguh
kenikmatan, dia mulai mempercepat
dayungan perahu mungilnya. Aku
mengimbangi. Betapa nikmatnya. Dan
rasa nikmat ini menjadi berlebih-lebih
lagi, karena aku memberikan kenikmatan pada gadisku yang
mungil, cantik dan menggairahkan ini.
“Hhegh.. Har.. Har.. oh Sayang, aku
mau sampai lagi..! Oooh cepat.. cepat..
lebih keras..!” lenguhannya datang
lagi bersamaan dengan urutan-urutan lembut pada batang penisku.
Aku menjadi semakin bernafsu. Cici
mulai lemas. Benar-benar lemas. “Mas, kamu belum juga ya Sayang..?
Ayo dong Say..! Kasihanilah aku,
sudah lemes banget nich..!” Cici
mengiba dan memuncakkan birahiku.
Kogoyang dengan liar penisku dalam
vaginanya, terus dan terus sampai akhirnya, “Cici, ough.. ach.. terimalah
air maniku Say, nikmatilah siraman
kenikmatanku.. Hegh..!”
Dan aku pun sampai pada pelabuhan
kenikmatan yang kudambakan.
Kusemprotkan maniku sejadinya. Walaupun maniku sudah habis, tapi
kedutan kenikmatan terus kurasakan
pada penisku, apalagi vagina Cici terus
mengurutku. Walaupun sudah orgasme, batang
kemaluanku masih tetap tegang
penuh. Tidak seperti ini biasanya.
Kami berpelukan, berciuman. Kuelus
dan kukemut susunya yang besar
menantang itu. Beberapa saat sampai akhirnya kami benar-benar terkulai
lemas. Habis tenaga kami. Basah
kuyup badan kami oleh peluh
kenikmatan. Kutengok TV yang masih menyala
tanpa ditonton dan tanpa suara.
Buletin Malam RCTI. Waahh, berati
sudah jam satu lebih. Lama sekali kami
bercinta penuh gairah, nafsu dan
sayang. Cici merebahkan kepalanya di dadaku. Sesaat kemudian, kami ke
kamar mandi bersama-sama. Saling
memandikan di bawah siraman air
hangat yang membuat kami segar
kembali. Kadang kami saling
berpelukan sambil menggesekkan tubuh kami. Oohh.., nikmatnya dunia. Kami kembali mengobrol dengan
tubuh hanya berbalut handuk. Dari
cara duduknya, Cici secara tidak
sengaja mempertontonkan bukit
surganya padaku, membuat batang
penisku tetap tegak berdiri. Aku memesan makanan ringan, teh panas
untuknya dan susu untukku sendiri.
Cici menggoda, berjalan mendekatiku
menyodorkan buah dadanya,
memasukkan puting susunya ke
mulutku. Tepat memang, karena aku duduk di tempat tidur. “Susuku yang dua ini sudah
kupersembahkan pada mas, nggak
cukup ya..? Kok masih pesan susu ke
Room Service. Susu siapa sih yang
dipesan..?” godaan ini membuat Cici
dan aku tertawa terbahak-bahak. Kami bergulingan sambil berpelukan.
Bahagia sekali rasanya. Pesanan kami telah sampai dan kami
menikmati dengan saling menyuapi.
Ketika Cici mau berdiri, dia
menyenggol gelas susu. Sehingga ada
sedikit yang terciprat ke dadanya.
Untung susu itu hangat saja. Cici mencari tissue, tapi kucegah.
Kurebahkan dia di tempat tidur, kujilat
susu yang ada di atas dadanya sambil
kujilat puting susunya. Cici mengerang
kenikmatan.
“Nakal kamu ya..!” katanya sambil bangkit dan mencubitku. “Mas, kok burungnya bangun terus
sih..? Aku sudah capek sekali, kamu
masih mau lagi ya..?”
“Ya masih dong, tapi nanti saja. Kita
bobok dulu yuk..!”
Akhirnya kami rebahan. Kubalikkan badannya membelakangiku. Mau
tidak mau, batang penisku masuk
juga ke selangkangannya. Tapi aku
diam saja. Sesekali Cici mengurut
batang penisku dengan vaginanya.
Berkedut-kedut. Tanganku mengelus- elus buah dadanya. Kami mungkin
sudah sangat lelah, sehingga tanpa
terasa kami tertidur, dengan penisku
berada dalam vaginanya. Tidur yang
sangat nikmat. Hari Sabtu, hari libur, hari malas. Aku
biasa bangun jam 10 pagi. Tapi hari ini
molor sampai jam 12. Kami bangun
mandi berbenah sedikit untuk siap-
siap jalan-jalan. Penisku tetap tegap
dari tadi pagi, karena aku sangat menikmati asmara ini. Di depan Cici,
kutelepon anak-anakku. Mereka
bersama dengan baby sitter dan
mama mereka. Kami mengobrol
kurang lebih 30 menit. Aku senang,
mereka pun senang. Aku bilang bahwa aku akan pulan hari Minggu
siang, setelah mengantar Cici ke
bandara, tentunya. Cici pun mengirim
salam untuk mereka. Ketulusan Cici mengirim salam pada
anak-anakku membangkitkan
gairahku yang tidak tertahankan.
Kubuka celananya jeans-nya dan
tanpa pemanasan kusenggamai Cici
dari belakang sambil berdiri. Cici menanggapi dengan gelora membara
pula. Vaginanya yang semula kering
segera membasah membuat gesekan-
gesekan kenikmatan kami menjadi
menggila. Napas Cici tersengal-sengal.
Goyangannya menjadi lebih liar, kadang maju mundur kadang
memutar. Sekehendaknya Cici mencari
kenikmatan di liang senggamanya.
Goyanganku pun menjadi lebih cepat
dan keras. Tiba-tiba Cici membalikkan wajahnya,
“Cium, Mas..!”
Langsung kucium bibirnya sambil
kuremas-remas gemas buah dadanya
yang besar itu. Ternyata ini adalah
saat-saat puncak orgasmenya. Vaginanya meremas-remas batang
penisku, berdenyut-denyut. Ini
membuatku kesetanan. Kegenjot
vaginanya keras-keras sampai tubuh
Cici berguncang-guncang. Tidak lebih
dari 5 menit, kusemburkan maniku dalam vaginanya. Luar biasa, cepat
sekali. Setiap semprotan mani
kusiramkan dengan sodokan-
sodokan keras penuh kenikmatan.
Banjirlah vaginanya dengan siraman
air maniku. Cici dan aku ke kamar mandi untuk
membersihkan diri. Sekeluar dari
kamar mandi, dia memelukku erat
sekali, menciumku mesra sekali.
“Mas, aku terima kamu apa adanya,
rela aku jadi pendampingmu, apapun statusku. Itu tidak terlalu penting, aku
sangat mencintaimu, juga sayang dan
kasihan pada anak-anakmu. Tapi aku
sadar, bagaimanapun aku tidak akan
jadi ibu mereka. Udah deh, yuk kita
jalan-jalan dulu..!” Kami jalan-jalan di Ancol,
mengunjungi semua tempat hiburan
sampai malam hari. Malam Minggu
yang melelahkan tapi juga sangat
membahagiakan. Sampai akhirnya,
kami mojok di pantai dekat kuburan Belanda, yang paling sepi.
“Waktu cepat sekali berlalu ya Mas..!”
Cici membuka pembicaraan setelah
beberapa saat kami berdiam dan
lamunan kami berjalan entah kemana.
Yang jelas, aku hanya membayang- bayangkan, gimana kelanjutan
hubungan ini. “Begitulah Say.. Gimana kalau kamu
menunda sehari lagi..?” tanyaku tanpa
harap, sebab aku tahu ini tidak
mungkin.
Cici hanya terdiam. Aku pindah ke jok
belakangan diikuti Cici. Direbahkannya kepalanya di
pangkuanku. Batang kemaluanku
pun langsung menegang keras. Cici
merasakannya dan langsung
membuka celanaku.
“Mas, si Adik bangun lagi.” sambil tangannya mengelus-elus batang dan
lidahnya mulai menari di ujung
penisku.
Aku tidak mau kalah, celananya
kulepas sehingga aku dapat secara
leluasa meraba, mengelus bulu-bulu halus di vaginanya.
“Heeggh, terusin Mas.. yang dalam..!”
pintanya. Jari tengahku pun mulai kumasukkan
dalam liang senggamanya yang sudah
sangat basah. Cici berkelojotan lebih
liar, semantara aku sendiri merasakan
penisku sudah waktunya mendapat
perlakuan lanjutan. “Cici, aku sudah nggak tahan..!”
kataku sambil membimbingnya agar
duduk di pangkuanku,
menghadapku, sehingga kakinya
dapat bertumpu di jok.
Dikocok-kocoknya penisku sambil kami berciuman dan kemudian
dibimbingnya kemaluanku itu masih
pada liang kenikmatannya. Pelan tapi
pasti, amblaslah seluruh batang
penisku. Aku dan Cici sama-sama
tertahan ketika ujung penisku menyentuh pintu rahimnya. Cici menggerakkan pinggulnya maju
mundur, meskipun kami saling
berpagutan. Merangsang sekali. Tidak
tahan lagi aku untuk tidak melumat
buah dadanya yang besar berayun-
ayun ketika Cici bergerak ke atas- bawah. Cici menjadi lebih liar dan
gerakannya menjadi lebih dahsyat.
“mas, remas susuku sekeras-
kerasnya, aku sangat menikmatinya..!
Please Mas..!” pintanya.
“Ntar sakit dong Ci, aku nggak..” jawabanku dipotongnya.
“Biarin, biarin.., aku sangat
menikmatinya..! Siksalah aku dengan
nikmatmu Mas..! Membuatku lebih
nikmat hegh..!”
Aku baru sadar bahwa Cici tampaknya agak senang dengan sadism. Kuremas keras susunya, kugigit agak
keras karena takut menyakitinya. Cici
menjadi lebih liar dan melenguh agak
keras.
“Say, ough.. ough.. nikmatnya Say,
aku keluar lagi, ouch ach.. ini nikmat sekali..!” dan Cici pun mengejang
hebat.
Tidak pernah kubayangkan
sebelumnya, bahwa Cici dapat seperti
ini. Entah mengapa, aku justru menjadi
sangat sulit untuk mencapai orgasme. Cici tampaknya menyadari hal ini. “Say, nggak apa-apa kok, aku
sungguh menikmatinya, gemasilah
diriku sesukamu..!”
“Kita kembali ke hotel yuk Ci, malam
sudah mulai larut..!”
Cici kelihatan agak bingung, karena aku tidak menyelesaikan puncak-
puncak pendakian kenikmatan itu. “Say, kulayani kamu semalaman ini,
kita nggak usah tidur, ya..?” pinta Cici
ketika kami memasuki pintu kamar.
Aku mengiyakan saja. Cici memesan
berbagai makanan kecil dan biasa,
susu kesukaanku yang dipesan Cici sampai 3 gelas. Room Service
mungkin heran, ya..? Kami sempat
ngobrol sebentar sampai Cici
memintaku untuk melanjutkan
puncak-puncak pendakian
kenikmatan yang sempat teputus. Cici langsung membuka seluruh
pakaiannya dan tubuh mungil indah
itu berdiri tegak di hadapanku.
“Mas, kamu diam saja. Aku akan
melayanimu habis-habisan..!”
Dan sambil berkata begitu, Cici membuka bajuku pelan-pelan sambil
mencium dan menjilati dadaku. Ooh
nikmat sekali. Lalu giliran celanaku
dibukanya, sambil menjilati dan
menciumi penisku yang sudah tegang
memerah. Aku seperti majikan yang dilayani oleh seorang dayang.
Pahaku, kakiku, pantatku, semua
dielus, dicium dan dijilat. Aku tidak
tahu Cici belajar dari mana, atau
barangkali naluri saja. Dengan posisiku masih duduk di
kursi, Cici membalikkan badan, duduk
di pangkuanku dan memasukkan
penisku ke vaginanya. Gerakan-
gerakan lembut dilakukannya.
Tubuhnya menggeliat-geliat karena kuremas lembut buah dadanya sambil
kuciumi dan kujilat punggungnya.
Beberapa saat kemudian, Cici
melenguh dan mengejang lagi. Dan
lagi denyutan-denyutan itu
kurasakan. “Hugh Say, kenapa jadi aku yang
sampai duluan..? Nikmat sekali
rasanya, mas mau kuapakan supaya
sampai..?” semua ini dikatakan Cici
sambil terus menggoyang pinggulnya. Aku mengajaknya naik ke ranjang.
Kuarahkan dia sehingga dia siap
dengan posisi doggy style. Cici
menurut saja. Kutusukkan batang
penisku amblas dalam vaginanya dan
kogoyang dengan keras dan cepat. Lama sekali kunikmati posisi ini,
karena dari belakang aku dapat
menikmat kemolekan tubuhnya dan
meremasi buah dadanya. Akhirnya,
aku tidak kuasa lagi menahan
tekanan hebat dalam penisku, karena remasan-remasan vagina yang tidak
kunjung habis. “Ci.., aku mau keluar niich..! Tahan ya
Sayang, jangan sampai lepash..!” dan
kogoyang pantatku keras-keras
sampai akhirnya, “Aachh..!” teriakku
dengan keras menyertai semprotan-
semprotan maniku yang membajiri liang vagina Cici.
“Say, goyang terus jangan berhenti..!
Aku juga mau sampai lagi, ooh..!”
pinta Cici.
Aku yang sebelumnya mulai melemas
kembali menggoyang kemaluanku dengan lebih cepat dan keras. Cici akhirnya menjerit, “Saych..!” dan
denyut-denyut kenikmatan itu
kembali mengurut-urut penisku. Kami
rebah kehabisan tenaga. Badan kami
basah oleh peluh. Pendakian kami
akhirnya sampai juga pada puncak kenikmatan bersama-sama. Sambil
masih berpelukan, kami saling meraba
daerah-daerah kenikmatan kami.
Sampai akhirnya kami betul-betul
lemas. Tidak berdaya. “Yuk berendam yuk..! Biar nggak
capek..” kuajak Cici ke kamar mandi
untuk berendam air hangat.
Setelah air penuh. Kami pun
berendam, di ujung bath tub saling
berhadapan. Kakiku kadang-kadang usil untuk mempermainkan
selangkangan Cici, yang membuatnya
sesekali memejamkan mata. Pastilah
nikmat. “Mas, tadi waktu kamu dari belakang,
jari dan burung mas sesekali
menyentuh lubang duburku, kok
enak yach..?” Cici membuka
pembicaraan yang mengejutkanku.
Mungkin secara tidak sadar aku telah menyentuh duburnya tadi, karena
gerakanku yang liar penisku
seringkali lepas. Dan aku pun
seringkali sambil terpejam meremas-
remas pantatnya yang aduhai, indah
dan merangsang. “Mas mau nggak melakukannya
lagi..?” tanya Cici.
Aku mengiyakan, karena aku
terbayang adegan-adegan yang
pernah kutonton di BF. Mungkin Cici
tipe wanita yang suka coba-coba, meski kadang itu menyakitkan
dirinya. Setelah mandi dan beristirahat entah
berapa lama, kami memulai akivitas
lagi. Seperti janjiku, aku meminta Cici
untuk menungging agar pantatnya
lebih terbuka. Kuelus lembut pelan-
pelan lubang pantatnya. Kuciumi dan lalu kujilati. Entah apa yang kulakukan
ini, karena aku belum pernah
melakukannya. Terpikir olehku,
mungkin ini akan menjadi anal seks
yang pertama. Cici sudah memberikan
keperawanannya padaku, sebanarnya itu sudah luar biasa
bagiku. Tapi ini, tampaknya akan
menjadi lebih dahsyat lagi. Cici tampak sangat menikmati
perlakuanku. Desahannya sangat
merangsang, membangkitkan
gairahku yang makin membara.
Batang penisku sudah menjadi sangat
tegang. Cici memegangnya dan, ya ampun.., dia mengarahkan batang
kemaluanku ke anusnya. Seperti
sudah tidak dapat mengendalikan diri
lagi, kugesek-gesekkan penisku ke
anusnya. “Ooch Mas, enak sekali Say..! Aach..!”
kata Cici sambil menggerakkan
pantatnya, seolah menginginkan
kenikmatan di seluruh
permukaannya.
Bayanganku pada adegan-adegan BF menguasai pikiran dan nafsuku.
“Ci, boleh nggak kumasukkan
kontolku ke duburmu..?”
Cici tampak terkejut, tentu dia tidak
mengira. “Memangnya nggak jijik..?”
“Nggak tahu deh, aku hanya ingin
mencobanya.” jawabku sedikit bohon.
Padahal aku sangat ingin
mencobanya karena adegan BF itu.
Cici mengatakan terserah saja. Akhirnya kucoba juga. Sangat sulit,
karena Cici kesakitan dan selalu
menghindarkan lubang pantatnya. “Ci, jangan bergoyang terus..! Susah
nih, pasrahlah..!” pintaku padanya.
Entah dapat ilham dari mana. Akhirnya
kupaksa Cici telungkup dan kutindih
pantatnya, sehingga ia tidak akan
dapat banyak bergerak. Kululuri penisku dengan ludahku sehingga
menjadi lebih licin, seperti di BF.
Dengan agak memaksa dan penuh
nafsu, kutekan batang penisku masuk
ke anusnya.
“Mas, sakit..! Stop..! Ach..!” Cici memekik kesakitan.
Tapi panisku sudah amblas dalam
anusnya. Aku terdiam. Cici kadang
mengejangkan lubang anusnya,
sehingga memberiku kenikmatan. Cici
masih telungkup menutup wajahnya dengan bantal. “Kalau memang enak, terusin..! Tapi
pelan-pelan..!” katanya kemudian.
Aku pun segera mengayun sepelan
mungkin. Ooh, nikmat sekali rasanya.
Belum pernah kunikmati kenikmatan
seperti ini. Mungkin karena Cici menjadi lebih rileks, sodokanku pun
menjadi lebih lancar. Kuangkat pantat
Cici sehingga aku dapat
menyusupkan tanganku, agar dapat
meraba vaginanya. Cici mengeliat-
geliat. Tampaknya dia sudah mulai menikmati. Vaginanya menjadi lebih
basah. Desahannya pun terus
terdengar. Aku menjadi semakin
menikmati pengalaman baru ini.
Kenikmatan puncak yang diberikan
oleh gadisku, yang sangat mencintaiku. Jari tengahku kumasukkan dalam
lubang vaginanya. Cici sangat
menikmatinya dan vaginanya pun
menjadi basah sekali.
“Mas, dua jari supaya lebih terasa..!”
Maka kumasukkan jari telunjukku dalam lubang nikmat itu. Cici menjadi
lebih gila. Goyangannya menjadi
semakin hebat, sehingga aku tidak
perlu menggoyang, karena tanganku
harus menjangkau lubang nikmatnya
itu. “Hacch.. Mas.. aku mau sampai Mas..!
Ochh Mas.. Aach..!” tinggi lenguhannya
dan banjirlah vaginanya.
Aku menjadi lebih bersemangat
menggenjot anusnya dan aku pun
tidak dapat menahan laju air maniku. Cret.. cret.. cret.. kutumpahkan air
nikmatku dalam anusnya dengan
denyut-denyut kenikmatan yang tiada
taranya. Kami ke kamar mandi untuk
membersihkan diri setelah itu. Cici
mencegahku untuk mencuci penisku
sendiri. Cici memandikanku dengan
gosokan-gosokan yang lembut. Aku
sungguh seperti seorang majikan yang dilayani seorang dayang. Belum
pernah aku mengalami seperti ini.
Tidak terasa, hari sudah pagi. Kami
harus bersiap-siap karena jam 10:00
Cici harus ke bandara. Akhirnya kuantar Cici ke bandara. Air
mata Cici membasahi pipinya. Kami
berpelukan. Ciuman kami pun tidak
tertahankan. Pandangan orang-orang
di sekitar kami pun terarah pada
sepasang manusia. Kami tidak menghiraukannya. Cici harus kembali
ke M. Sesak rasanya dada ini. Tapi
kami saling berjanji akan menjaga
cinta kami. Dua malam yang sangat melelahkan
dan membahagiakan telah lewat. Kami
akan bertemu kembali. Cici pasti akan
pulang ke Jakarta lagi. Ternyata, Cici
lagi tidak masa subur jadi nggak
hamil. Pada saat subur aku ppakai kondom,
tapi setahun kemudian kami
mendambakan anak buah cinta kami.
0 komentar:
Posting Komentar